KAU, AYAHKU - JUARA 3 LOMBA CERPEN EUREKA BOOKHOUSE

Oleh Eureka | 28 Mar, 2024 |
1688
IMG-BLOG
28 03 2024

Malam itu, dimana tak seorang pun lewat di Gang Gelap, Mulyatun Nisa seorang diri, melewati gang itu. Udara pengap bercampur dengan aroma kuat beer di setiap sudut gang. Suara tawa para pria berhidung belang terdengar menggelegar diiringi desah para pelacur dari rumah-rumah bordil di Gang Gelap. Mulyah, begitu dia biasa dipanggil, menunduk sedalam dalamnya, bahkan ujung kerudungnya ia gunakan sebagai penutup mata.

            Setiap langkahnya dihantui was-was. Tepat di mulut Gang Gelap, Mulyah menarik napas lega, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Tiba-tiba terdengar suara tawa dari samping Mulyah, dia menoleh, tampak seorang pria tengah menggoda seorang waria. Tangan nakal nya menyentuh setiap jengkal tubuh waria itu dengan tatapan bernafsu, seakan tak sadar bahwa yang ia tengah gauli sekarang adalah sesamanya.

            Mulyah beistghfar, kedua orang yang tengah bersama itu pun menoleh kepadanya, Mulyah terlalu keras berbicara. Si pria hidung belang itu pun menghampirinya, menarik kerudungnya dan melemparkannya ke sembarang arah. Mulyah yang terkejut langsung terduduk dan hendak mengambil kerudungnya. Tak disangka, si pria hidung belang itu meninju kepalanya, dan membopongnya.

            Waria yang tadi pun mengkuti si pria hidung belang. Lompat kedepan si pria dan menendang kelamin si pria. Si pria yang kesakitan menjatuhkan Mulyah, dengan cekatan waria itu menangkap tubuh mungil Mulyah, membawanya kabur, menjauh dari si pria hidung belang.

            Mulyah bangun dari pingsannya, menatap langit-langit kumuh yang tak dikenalnya, dia menatap sekeliling dengan penglihatan yang masih berkunang-kunang. Seseorang tampak sedang berkaca sambil menghapus riasannya. Waria dari Gang Gelap itu Mulyah mengingatnya. Mulyah pun terduduk dan memerhatikan waria itu. Sadar diperhatikan, waria itu lantas menyapa Mulyah, bertanya kabarnya.

 

            Mulyah pun terjebak pembicaraan dengan waria yang sudah menghapus semua riasannya. Tak ada lagi wig blonde mengombak, make up tebal, anting-anting dan segala rupa. Wajah waria itu berubah total, sama sekali tak tampak bahwa baru saja dia menggoda para lelaki. Mulyah berkata bahwa dia berasal dari selatan kota, dia anak pemilik salah satu yayasan pendidikan disana. Kontras dengan Mulyah, waria itu berasal dari pedesaan kumuh, dan dia hidup sebatang kara sama sekali tanpa ada saudara. Tetapi, dia hidup bersama anak-anak terlantar yang lain, dan dia adalah yang tertua diantara mereka. Nama waria itu, Jovi Indara. Cukup maskulin untuk nama seorang lelaki yang berakhir menjadi waria.

            “Sudah larut neng, mau saya antar pulang?” Tanya Indara.

            Mulyah mengangguk, tak ada pilihan selain menerima tawaran menarik itu. Lagi pula Indara juga tidak akan berbuat macam-macam, tidak ada yang perlu Mulyah khawatirkan.

            Deru sepeda motor butut Indara memecah hening malam. Tak ada pembicaraan, hanya lengang diantara mereka berdua.

            “Neng, enak ya punya keluarga? Kadang saya iri dengan orang-orang.” Akhirnya Indara buka suara.

            “Semua itu sudah ada porsinya masing-masing Kang. Semua manusia punya enak masing-masing di hidupnya.”

            Indara mengangguk.

            “Maaf kalau menyinggung, tapi Kang Indara ini mengapa bekerja sebagai waria? Padahal saya lihat-lihat Kang Indara ini sama sekali ndak ngondek.”

            Indara menghentikan laju motornya. Menyuruh Mulyah untuk turun. Mereka pun duduk di bahu jalan, saling terdiam.

            “Aku memang tak punya keluarga Neng, tapi aku punya teman-teman kecil yang sudah kuanggap adik, aku bertanggung jawab atas mereka. Dan kenapa aku memilih perkerjaan hina ini adalah bukan karena aku kelainan, aku masih normal. Tetapi, aku tak punya kemampuan apapun, aku tak pernah bersekolah, aku hidup dengan belas kasih orang, aku pernah diasuh oleh sekelompok pemain lenong, disana, aku diajari bermain peran meski hanya sebentar, karena mereka bilang melihat bakat alamiku.”

            “Karena mereka pemain lenong yang singgah dari tempat ke tempat, mereka akhirnya pergi, dan aku tetap tinggal karena aku tak bisa meninggalkan teman-teman kecilku. Aku memutar otak, dan akhirnya aku menemukan Gang Gelap itu. Dan perlu kau tau Neng, aku hanya bermain peran. Gerak tubuh, ekspresi, suara, nada bicara bahkan riasan aku kuasai semua sebagai pemain lenong. Hanya dengan aku bermain peran seperti wanita ketka para lelaki itu menyentuhku, aku sudah mendapat banyak sekali uang.”

            Mulyah mengangguk mantap, dia terkesan.

            “Tapi Neng, jujur aku ingin sekali keluar dari pekerjaan hina ini. Tapi bagaimana dengan teman-teman kecilku? Apalagi dengan Abeng, dia yang paling tua diantara yang lain, dia juga cerdas, sayang kalau dia terus terlantar, aku ingin dia sekolah.”

            “Besok, datanglah ke rumahku, aku akan ajak kau bertemu ayahku.” Mulyah tersenyum.

            Mereka kembali melanjutkan perjalanan, dan Mulyah akhirnya tiba di rumahnya. Dia turun dari motor Indara, berterimakasih, lalu masuk ke rumahnya. Indara masih terdiam di depan rumah Mulyah, terkagum-kagum betapa besar rumah Mulyah sampai dia sadar bahwa tengah malam sudah datang.

            Esok hari, Indara benar-benar datang kembali, Mulyah menyambutnya. Indara bertemu ayah Mulyah, lelaki paruh baya dengan wajah pemarah, lalu ibu Mulyah, wajahnya sangat damai, persis seperti Mulyah. Dan terakhir, kakak laki-laki Mulyah, Raden Aziz Perwira.

            “Jadi ini yang kau suruh bapak sekolahkan? Dia tampak cerdas memang, sorot matanya tajam.”

            Ayah Mulyah, Raden Ilham Wicaksono mudah menilai orang. Indara tampak senang mendengar ayah Mulyah bicara begitu.

            “Baik tak apa-apa, dia akan langsung ikut penyetaraan.”

            Mulyah tersenyum, Indara mengerutkan dahinya.

            “Apa boleh kalau teman-teman kecil saya ikut? Mereka semua cepat belajar. Dan tak mungkin juga mereka akan saya tinggalkan Raden.” Takut-takut Indara meminta.

            “Kau bercanda Indara? Mereka ada berapa orang?”

            “Empat Raden.” Indara tampak ciut.

            “Tentu saja Indara, hanya empat. Sepuluh orang pun aku sanggup biayai hidup mereka. Kau telah menyelamatkan putriku. Besok datangkan mereka.”

            Indara bersungut-sungut senang, tersenyum lepas, begitu tampan dan dari sisi lain, Mulyah yang melihat itu, dia berdesir.

            Waktu telah banyak terlewati. Indara dan empat teman kecilnya sudah tiga tahun ikut penyetaraan. Indara yang cerdas mampu menyelesaikan kurikulum formal dua belas tahun hanya dalam tiga tahun sekolahnya. Indara masuk perkuliahan terbaik sekarang, bersama Mulyah.

            Dari awal, mereka sudah saling mencintai, bahkan Indara telah mengagumi Mulyah sejak pertama kali bertemu. Dia mengagumi Mulyah yang tetap memanggilnya ‘Kang’ meski telah melihat tingkah gemulainya malam itu.

            Setelah lulus, Indara langsung bekerja sebagai pemadam kebakaran, impian kecilnya yang tak satupun orang tau. Yang dia kira tak akan pernah terwujud. Pertemuannya dengan Mulyah adalah titik balik terbesar dalam hidupnya, yang kini dia putuskan untuk meminang Mulyah.

            Kehidupan berumah tangga mereka sempurna. Hidup dengan orang yang paling dicintai, istri yang sedang mengandung dan teman-teman Indara yang setia. Tak pernah lupa Indara tentang Gang Gelap, sering-sering dia kesana bersama istrinya menyambangi waria yang lain, mengajak mereka bertaubat. Satu-dua ikut, yang lain memilih tetap.

           

            Cukuplah kisah bahagia Jovi Indara, si pemain lenong, si waria yang bertaubat. Kini dia tengah menunggui istrinya yang sedang melahirkan, menanti dengan was-was. Berjalan bolak-balik di depan pintu ruang bersalin, menggigit jemari. Bertanya pada setiap suster yang keluar dari ruangan. Dia duduk, melihat lampu ruang operasi masih menyala merah, lalu kembali berdiri, berjalan bolak-balik, lalu duduk lagi, berulang hingga akhirnya dokter keluar memanggilnya.

            Indara masuk langsung berlari merangkul istrinya, menciumi tangan Mulyah sambil menangis. Dokter datang sembari menggendong bayi yang tengah menangis, bertanya akan diberi nama siapa anak itu.

            “ Raden Gumilar Nareswara.” Mulyah berkata lirih sekali.

            “Biarkan dia jadi orang besar seperti kakeknya, selalu berterus terang, mulia dan bijaksana.” Mulyah terdiam, matanya tertutup.

            Indara mengguncang tangan Mulyah, meneriaki dokter. Anak nya yang baru saja lahir diberikan pada suster, dokter melihat kondisi Mulyah, dan menggeleng. Indara memecahkan tangisnya, meremas tangan Mulyah, istri tercintanya. Suasana haru tak lagi tampak, Indara masih terus menangis menggenggam tangan istrinya yang sudah mulai mendingin.

            Rombongan Raden Ilham Wicaksono datang ke ruang tersebut, ingin bertanya dimana cucunya. Melihat Indara yang menangis hebat disebelah putrinya, Raden Ilham memahami apa yang terjadi. Ibu Mulyah pun ikut menangis disamping Indara, kakak Mulyah memerhatikan dari jauh bersama Raden Ilham, menangis. Hari itu, hari dimana Jovi Indara merasa jatuh ke dasar lautan terdalam.

            Raden Aziz Perwira mengambil langkah, mendekati Indara. Menepuk bahu Indara, menenangkannya. Indara bangkit dan keluar ruangan bersama Raden Aziz Perwira. Di ruang tunggu, Indara belum berhenti terisak.

            “Sudahlah Indara. Tak pantas kau terus menangis. Anakmu harus kau urus.”

            Indara mendongak, dia teringat kalau belum melihat wajah anak nya barang sedetik. Indara bangkit, dan berjalan gontai kearah ruangan dimana bayi yang baru lahir ditempatkan.

            Raden Gumilar Nareswara, suara istrinya menggema dalam pikirannya, membuncah dari relung hati terdalam. Dia mencari nama anaknya, menatap setiap boks bayi yang dia lewati. Hingga dia temukan, tak dapat menahan air mata kesekian kalinya, Indara kalah telak. Wajah Ares (begini si anak akan dipanggil) begitu mirip dengan mendiang istrinya. Apapun yang terjadi kau harus merasakan memiliki seorang ibu, kau harus tumbuh dengan kasih sayang seorang ibu, meski tanpa ayah. Bagimu yang terpenting adalah ibu. Indara berkata dalam hati.

            Esok pagi, hari pemakaman Mulyah. Abeng duduk disebelah Indara ikut menatap kosong jasad Mulyah yang sedang dikebumikan.

            “Aku akan jadi ibu untuk Ares.” Indara berkata.

            “Kenapa single parent?Kalau kau bisa menikah lagi Kang?”

            “Bukan, aku akan benar-benar menjadi ibunya.”

            Abeng menatap tidak percaya Indara, apa maksudnya? Demikian maksud tatapan Abeng.

            Setelah itu, Indara membawa pergi Ares, kembali ke rumah Indara yang dulu, dan merenovasi ulang rumah dari awal. Berkata pada Raden Ilham kalau dia ingin mengasuhnya sendiri, Raden Ilham tak bisa menolak, Indara sangat terpuruk.

            Beberapa bulan kemudian, Abeng datang ke rumah Indara. Menunggu di depan pintu. Lalu seorang wanita datang membuka pintu.

            “KANG INDARR!?”

            Abeng ditarik masuk kedalam, dan pintu ditutup rapat.

            “Apa yang Kang Indara lakukan?”

            Indara menyuruh Abeng duduk, menarik napas panjang, dan mulai bicara.

            “Ini tidak seperti yang kau pikirkan, hanya kau yang tau siapa aku ketika aku memakai riasan seperti ini. Tolong sembunyikan dari Ares, aku hanya ingin dia memiliki sosok ibu. Masalah bagaimana dia makan, aku sudah mendapat donor ASI. Aku sangat menyayangi Ares. Sekarang ini masih mungkin, mungkin beberapa tahun setelah ini, aku akan menitipkan beberapa barang-barang ku seperti seragam DAMKAR padamu.”

            Abeng mengangguk, tak bisa berkata apa-apa. Ide gila Indara tak bisa dipupuskan, semua untuk Ares. Indara akan bersandiwara menjadi sosok ibu bagi Ares.

            Hari demi hari, Ares tumbuh dewasa, kini ia sudah di penghujung sekolah dasar. Indara memainkan perannya dengan baik.

            “Buk, Menstruasi itu apa buk?” Tanya Ares polos pada ‘ibunya’.

             “Sesuatu yang dialimi perempuan setiap sebulan sekali.” Jawab ‘ibunya’.

            “Temenku bilang, mamanya pakai popok terus buk, kok ibuk nggak?”

            “Ibuk sudah tidak lagi, namanya menopause.” Jawab ‘ibunya’, penuh kebohongan.

            “Nanti juga kamu akan dijelaskan di sekolah Res, jangan tanya-tanya ibuk.” Lanjutnya.

            Ares tak pernah curiga sedikit pun, Ares memang cerdas, tapi kemampuan berakting Indara melebihi apapun. Ini tahun ke-11 Indara sudah bersandiwara, menjadi ibu bagi Ares. Suara, wajah dan tingkah Indara telah sangat baik memerankan seorang ibu. Hanya saja, Indara tak pernah sekalipun keluar rumah dengan riasan seperti itu, sandiwara nya hanya untuk Ares. Segalanya untuk Ares.

            Sering teman-teman Ares berkata bahwa mereka tak pernah melihat orang tua Ares, dan Ares hanya menjawab ayahnya telah meninggal dari sedari dia kecil, dan ibunya sibuk dirumah, seperti yang selalu Indara katakan. Ares hanya tersenyum ketika setiap mengambil rapot, melihat teman-temanya duduk diantara kadua orang tua mereka. Dan dia bersama dengan Abeng, teman kecil Indara.

            “Paman, Ares pulang dulu ya, Ares pusing, Paman bawa rapotnya saja dulu.” Pinta Ares. Abeng mengangguk.

            Ares bangkit dari kursi, mengambil tasnya dan beranjak pergi. Sampai dirumah, dia mengetuk tak ada jawaban, Berulang kali, pun tetap sama. Ares yang sudah tidak tahan dengan pusingnya pun memilih bertanya pada tetangga sebelah rumah, yang sebenarnya ini pertama kalinya dia berbicara pada tetangga nya itu..

            “Ibumu? Bukannya yang biasanya bersamamu adalah ayahmu?” Tetangga nya tahu tentang ibu Ares yang telah lama meninggal.

            “Ayah? Ayahku sudah meninggal sejak lama paman.” Tetangganya memasang wajah kebingungan. Eh meninggal? Mungkin demikian maksut ekspresinya.

            Indara yang dari kejauhan datang melihat Ares dan tetangganya sedang bicara. Dia berlari dan segera masuk kedalam rumah. Berganti pakaian, memakai riasan, dan berlagak seperti ibu-ibu yang baru bangun tidur.

            Ares yang sudah malas mencari jalan keluar pun kembali ke teras rumah dan duduk di depan pintu, sejurus kemudian Indara keluar dengan riasan sempurna, dia sudah menjadi Mulyah, ibu Ares. Berkata bahwa tadi dia ketiduran, tidak mendengar Ares mengetuk pintu.

            Waktu berjalan cepat sekali, beberapa hari lagi Ares sudah masuk Sekolah Menengah Atas, Ares telah tumbuh dewasa.

            “Buk, aku menyukai seseorang buk.”

            “Oh, kalau begitu kenapa kau tak jujur padanya?” Jawab ‘ibunya’.

            “Masalahnya sahabatku juga menyukai gadis itu buk.”

            “Terus kenapa? Kalian kan bersaing.”

            “Buk, aku meminta saran saran yang baik. Dia temanku, apa ibu tidak bisa seperti ibu-ibu pada umumnya? Yang bisa diajak bercerita. Ibuk terlalu kaku, dari dulu aku selalu berpikir ibu itu aneh. Ibuk seperti bukan ibuk sebenarnya. Memangnya kenapa? Apa sesuatu menjadi alasan?”

            “Bukan itu Ares ibuk itu cum-.”

            “Halah,  aku tidak peduli sekali terhadap itu, sudah lama aku ingin mengatakan ini, aku pikir ibuk sadar ketika aku tidak pernah bercerita apapun pada ibuk, ternyata tidak!” Bentak Ares.

            “Oh ya buk, karena besok umurku sudah 17, aku minta Kartu Keluarga kita buk. Aku ingin membuat KTP.” Pinta Ares dengan wajah kesal.

            “Tidak, kau tidak boleh. Setelah membentak ibumu kau berkata seperti itu?” Sergah ‘ibunya’.

            “Kartu Keluarga saja tidak boleh? Aku bahkan tidak pernah melihatnya seumur hidupku! Aneh.” Ares berpaling, berjalan keluar rumah, meninggalkan ‘ibunya’ sendirian.

            Indara yang kalut terduduk di sofa. Merenung, berkata pada dirinya sendiri apakah Ares sudah tahu kalau aku bukan ibunya? Sehebat apapun Indara dalam berperan, yang ia bohongi sekarang adalah remaja yang kecerdasannya bahkan diatas rata-rata, Indara terlalu meremehkan anak laki-lakiya.

            Malam harinya. Ares baru kembali, ‘ibunya’ sudah tertidur di kamarnya. Ares melangkah perlahan, dan masuk ke kamar Indara. Ares berdiri di ambang pintu, memerhatikan ‘ibunya’ yang sedang tertidur. Dia tampak berbeda dengan wanita biasanya, tapi aku tak tau apa. Hanya terasa berbeda saja. Ares berkata dalam hati.

            Esok harinya. Kecanggungan terlihat antara Ares dan ‘ibunya’. Ares yang tak mau menatap ‘ibunya’, ‘ibunya’ yang bahkan sama sekali tak bicara pada Ares. Padahal, hari ini Ares berulang tahun yang ke-17. Ares berangkat sekolah tanpa sepatah kata pun.

            “Aku balik duluan ya. Bilang aja aku sakit, nanti juga Bu Agnes gak tanya-tanya lagi.” Ares berkata.

            “Mau ngapain emang nya?” Tanya seorang temannya.

            “Ada perlu.”

            Jam sembilan tepat, Ares memutuskan kembali pulang, meninggalkan sekolahnya. Sampai di rumah dia membuka pintu, dan benar saja dikunci. Ares tidak bodoh, dia sudah punya salinan kunci nya, dan berhasil dia buka.

            Sampai di dalam, dia luluh lantahkan semua isi lemari Indara, pakaian-pakaian dan barang-barang penting lain. Kartu Keluarga itu tidak disini batin Ares. Dia beranjak, mengembalikan semua hal yang telah ia bongkar.

            Ares berpikir cepat, dia membuka knop pintu gudang yang terletak di loteng, dan naik. Gudang itu berada di dalam kamar Indara. Dia melihat tumpukan album lama yang tertindih barang-barang usang. Ares memindahkannya satu per satu.

            Ada banyak sekali foto lama, seorang wanita dan pasangannya. Yang dia tahu itu bukanlah ibunya, dan ketika dia melihat paras pasangan wanita itu, dilihat-lihat persis ‘ibunya’. Dia membalik halaman demi halaman. Ares berdecak, Kartu Keluarga itu ada disini.

            Tidak ada nama ibu disana, hanya ada Jovi Indara sebagai kepala keluarga, dengan status pernikahan cerai mati. Dan dimana ibunya yang bernama Mulyah? Tanpa berlama-lama disitu Ares berdiri hendak membuka pintu gudang, dan terhenti ketika mendengar pintu kamar ‘ibunya’ terbuka. Seorang lelaki masuk.

            Ares memicingkan mata, melihat gerak gerik lelaki itu, dan seperti sudah sering pergi ke kamar ‘ibunya’. Lelaki itu kini berdiri di depan cermin besar ‘ibunya’ terlihat dari tempat Ares mengintip sekarang wajah, dan kenampakan depan lelaki itu,  mirip seperti yang ada di album, Ares terkejut. Setelah beberapa saat, akhirnya lelaki itu pergi dan Ares turun dari loteng. Wajah Ares terlihat masam.

            Malamya, Ares sedang membaca di dalam kamarnya, membaca Kartu Keluarga yang tadi pagi dia ‘curi’ dari gudang. Matanya melihat kertas itu memang, tapi pikiran Ares melanglang buana. Ares akhirnya bangkit dari kamarnya dan keluar. Terlihat ‘ibunya’ sedang duduk menonton televisi,

            “BUK!” Ares melempar Kartu Keluarga itu pada ‘ibunya’. Sontak, ‘ibunya’ berdiri dengan ekspresi wajah yang sulit dijelaskan.

            “Kau?” Kata ‘ibunya’ tercekat.

            “AKU TAU SEMUANYA! JOVI INDARA! AKU TAU KEMANA IBUKU MULYAH PERGI!” Bentak Ares.

            “Sebenarnya sedari dulu aku tau, tapi aku tak mau berpikiran buruk tentang satu satunya orang tuaku, tapi ketika tadi pagi aku benar-benar melihat Jovi Indara. Aku tak punya alasan mengelak. Aku benar-benar jijik mempunyai satu-satunya keluarga sepertimu Indara!” Ares mengambil napas panjang.

            “BAHKAN KAU SENDIRI WARIA! Jangan tanya darimana aku tau, aku sering melewati Gang Gelap, disana aku sering bertemu para waria, mereka sering menyebut-nyebut namamu, bilang kalau aku benar-benar mirip Mulyah. Dan hingga suatu hari aku kenal salah seorang dari waria itu, dia menceritakan semua masa lalumu, bahwa ibuku telah meninggal, dan ayahku seorang waria!”

            “Bagaimana kau bisa keluar malam-malam?” Tanya ‘ibunya’.

            “KAU BERTANYA BAGAIMANA? Aku sadar kau selalu membuatkan ku segelas susu dengan obat tidur didalamnya, aku menyadari itu ketika aku baru masuk SMP, aku sadar ketika teman-temanku bertanya kenapa aku tidak bisa begadang meski sudah minum kopi? Apa yang tearkhir aku minum? Dan pada puncaknya, aku benar-benar melihatmu menuangkan antihistamin. Dan sejak itu aku melihatmu keluar malam setelah aku berpura-pura tidur, aku tak menyangka kau masih melakukan pekerjaan kotor itu. AKU MALU PUNYA AYAH SEPERTIMU INDARA, AKU MALU, DASAR WARIA HINA!”

            Setelah Ares menyelesaikan kalimatnya, dia pun berlalu pergi, meninggalkan Indara yang seakan masih tak bisa memercayai kejadian barusan.

            Ares yang tak tahu harus kemana memilih untuk berputar-putar, dan akhirnya dia sampai di Gang Gelap. Dia melewati gang itu untuk kesekian kalianya, mendengar para manusia hina bersahutan, memecah  hening malam dengan desah yang berkepanjangan. Ares berhenti di salah satu rumah bordil.

            “ Aku mencari Teh Moni.” Kata Ares pada seorang wanita yang menyambutnya di ambang pintu dengan pakaian yang amat terbuka, sengaja memamerkan buah dadanya.

            “Kenapa? Aku bahkan sudah menyambutmu disini? Untuk apa kau mencari bos? Apa kau kurang kalau hanya aku? Aku bisa memuaskanmu walau sendiri.” Kata wanita itu dengan manja, suaranya ketika berbicara bercampur desah, tangan nya bermain di tubuh Ares.

            “Tidak, aku ada perlu dengan Teh Moni.” Ares berkata ketus.

            “Apa kau benar-benar menolak aku dan pesona-“

            “Sudah Sarah, dia tamu isitimewaku!”

            Cabo yang dipanggil Sarah itu mengerucutkan bibir merah meronanya, menghentak-hentakkan kakinya, membuat buah dadanya yang terbuka itu bergetar.

            “Kau akhirnya datang kesini Ares, setidaknya kau sangat jantan, bernafsu seperti lelaki, tak seperti ayah gigolo mu itu, kau ingin ku bawakan siapa? Aku bahkan memiliki model brilian disini, kau tau Nina kan?”.

            Ares menggeleng.

            “Aku ingin bicara, tidak disini, terlalu berisik.” Memang benar, rumah bordil Teh Moni adalah rumah bordil paling laris, bahkan para pelanggan nya adalah pejabat. Waria itu (Teh Moni) lebih sukses menjadi mucikari daripada menjadi gigolo. Ramainya tempat Teh Moni bisa diketahui lewat banyaknya lelaki yang keluar masuk, desah para cabo, dan tertawa lantang para lelaki hidung belang.

            “Disini saja, aku sudah tidak mendengar suara becek cabo-cabo mu.”

            “Haha, Gadis-gadisku memang tangguh, sebanyak apapun, merekan akan tetap bersuara lantang, melebihi anjing yang menyalak.” Kata Teh Moni dengan congkak, membanggakan rumah bordil nya.

            “Ceritakan tentang Indara.”

            “Haha, sudah ku bilang dia gigolo di masa lalu. Tapi dia berubah semenjak bertemu Mulyah, ibumu.”

            “Bukannya dia masih tetap disini? Dia selalu bekerja di malam hari.”

            “Dasar bodoh, dia itu seorang pemadam kebakaran, pastilah dia bekerja sampai malam.”

            “Pemadam kebakaran? Kau tidak sedang membualkan?”

            “Tentu tidak Ares.”

            Ares yang sudah kalut tidak tahu harus kemana, atau percaya pada siapa. Tentang ayahnya yang membohonginya, selama 17 tahun menjadi sosok ibu baginya, menjadi waria di masa lalunya. Teh Moni yang bicara kalau ayahnya itu telah bertaubat. Dia bingung, tak tahu harus apa. Teh Moni menawarkannya singgah di rumah bordilnya, barangkali tertarik. Ares yang awalnya menolak, tak bisa berbuat apapun, dia butuh tempat untuk tidur.

            Ares berbaring diatas kasur rumah bordil itu, terasa lembab. Dinding nya yang tipis membuat suara dari kamar sebelahnya terdengar jelas, desah para cabo menemani malam Ares. Tak dapat tidur, Ares menyalakan televisi. Layar menampilkan sebuah breaknews.

            Kembali lagi dengan Lintas Breaknews, saya Bahar.  Presenter laki-laki itu mulai berceloteh.

            Berita kali ini, adalah terbakarnya gudang ransum kota bagian selatan, korban tidak banyak, tetapi dua dari penjaga gudang masih di dalam, dan seorang pemadam kebakaran terjebak di dalam karena mencari dua orang tersebut. Ares tidak tertarik, hendak memindah saluran.

            Diketahui identitas sang pemadam adalah Jovi Indara. Ares berdecak, ayah? Tak pikir panjang, Ares bangkit dan pergi dari situ menuju gudang ransum di kota bagian selatan, tanpa pamit pada Teh Moni.

            Sampai disana, suasana kacau balau. Para wanita menangis, bingung besok akan memasak apa untuk suami mereka. Api membakar hebat, asap hitam membumbung tinggi membuat sesak orang yang menyaksikan kejadian hebat itu.

            Ares bingung harus apa, hati nya yang sedang kacau, tapi dia masih sadar, Indara adalah ayah kandungnya, dia harus menemukannya. Ares memaksa masuk, menerobos barikade yang dibuat para pemadam kebakaran.

            “KAU DILARANG MASU-, Ares?” Salah satu pemadam kebakaran berkata padanya, dia adalah Abeng.

            “KEMARI!” Abeng berseru, menarik Ares menjauh dari kerumunan.

            “Aku yakin pasti kau sudah tau semaunya kalau kau sampai datang kesini. Sekarang ambil ini, dan maaf, aku tidak bisa menahan ayahmu untuk masuk menolong para korban.” Abeng merogoh kantong di pakaian oranye nya, mengambil secarik kertas, memberikannya pada Ares.

            Ares yang bingung sekarang, dia yang beberapa jam lalu marah pada ayahnya, dendam, entah mengapa sekarang di hatinya terasa kekosongan, kini dia yatim piatu.

            Ares meninggalkan tempat kejadian, berjalan gontai melewati jalan-jalan malam yang lengang. Menatap lampu-lampu yang remang menerangi jalan.

            Untung saja hujan turun, para pemadam merasa tertolong Suara presenter dari acara yang sama yang dia tonton di rumah bordil terdengar dari warkop yang dia lewati, benar saja, hujan turun.

            Ares tak tau, hatinya terlalu kalut, ragu untuk melangkah, hatinya sangat sakit. Dia berteriak histeris dibawah hujan, terduduk menatap langit. Menangis sejadi-jadinya.

            Dia pulang dengan tubuh basah kuyup, berbaring meringkuk sambil menangis, sampai dia tertidur.

            “Bangun Ares.” Sebuah suara membangunkannya, bukan suara lembut ayahnya ketika berperan menjadi ibunya, itu suara Abeng.

            “Upacara pemakaman ayahmu sebentar lagi dimulai.”

            Ares bangun dengan wajah sangat sembab, terlalu banyak menangis. Ares bangkit, langsung mengenakan jas yang telah disiapkan Abeng. Ares keluar, melihat bahwa rumahnya telah dipenuhi banyak orang berkabung, atas kepergian ayahnya.

            Apa aku harus sedih?

            Apa aku harus memaafkannya?

            Bahkan setelah 17 tahun dia berbohong?

            Ares bicara pada diri sendiri sepanjang jalan ke pusara ayahnya. Dia menatap para orang-orang yang hadir, menatap sendu.

            Mereka menangisi seorang waria?

            Ares yang masih belum terima bahwa dia telah dibohongi, harus marah pada entah siapa lagi, ayahnya telah tiada.

            “Aku tidak ingin disini paman, aku tidak ingin.” Ares mengeluh pada Abeng.

            “Aku memahami itu.”

            Mereka berjalan menjauh dari pusara, jasad Indara sedang dikebumikan, Ares bahkan tak menyaksikannya sama sekali, hatinya terlalu sakit.

            Mereka duduk dibawah rimbunnya pohon. Membelakangi upacara pemakaman Indara. Dua menit lengang.

            “Kau sudah membaca kertas yang kuberi? Itu surat dari ayahmu.”

            Ares mengambilnya dari saku celana, baju nya sekarang adalah baju yang kemarin yang ia kenakan. Dia membuka surat itu, mulai membacanya.

            Untuk Raden Gumilar Nareswara, Aku ayahmu.                                                                       Jangan terkejut, hari dimana kau membaca ini, mungkin kau tidak lagi melihat ayahmu yang berbohong ini. Dan bahkan, kau sudah tau semuanya. Ares, ayahmu ini terlalu khawatir padamu, ayah ingin kau tumbuh diasuh seorang ibu, bukan ayah sepertiku.

            Ares menghela napas, dadanya penuh sesak.

            Bukan aku ingin menjadi seperti aku di masa lalu, tapi aku terlalu menyayangimu Ares. Maafkanlah ayahmu yang berbohong ini, maaf. Tumbuhlah dengan hebat, jadilah mulia dan bijaksana seperti doa ibumu pada namamu. Janjikan kami sebuah kehidupanmu yang terbaik. MAAFKAN AKU, RADEN GUMILAR NARESWARA.

            Ares tercekat, tak tau harus berkata apa.

            “Ayahmu dulu memang seorang waria, itu demi aku” Abeng membuka suara.

            “Maksutnya paman?” Ares mendongak.

            “Aku dan ayahmu sama-sama anak terlantar, kami berempat, dan ayahmu paling tua. Dia memiliki kemampuan berakting karena dulu pernah diasuh oleh sekelompok orang lenong, dan karena desakan dia terpaksa mengambil pekerjaan hina itu. Tetapi dia tetaplah Indara, dia adalah pemilik jiwa lelaki sejati. Dia menyelamatkan ibumu dari lelaki hidung belang di Gang Gelap, mereka saling jatuh cinta.”

            “Sekian lama, akhirnya mereka menikah, dan hadirlah kamu diantara mereka, Indara yang begitu bahagia, benar-benar telah menutup masalalu nya, hingga ketika kamu lahir, ibumu lah yang harus membayar dengan nyawanya, Indara yang begitu terpukul, menangis hebat saat itu.”

            Abeng menarik napas panjang.

            “Melihatmu yang benar-benar mewarisi wajah ibumu, Indara tak bisa apa-apa. Dia benar-benar menginginkan kau bahagia dengan diasuh seorang ibu, tapi dia juga tak pernah ingin menggantikan posisi istrinya dengan orang lain, dia mencintai kalian berdua, dia adalah laki-laki terhebat.”

            “Dia putuskan mengandalkan kemampuan beraktingnya, dia adalah yang terbaik, belasan tahun hidup denganmu, kau bahkan tak menyadarinya, bahwa dia bukanlah ibumu. Itu semua untukmu, dia tak pernah lagi menjadi waria setelah bertemu ibumu, Ares. Dia hanya berakting untukmu, dia bahkan bekerja bersamaku menjadi pemadam kebakaran, bhakti nya kau lihat sendiri betapa banyaknya orang yang berkabung kemari, meski kau tidak.”

            Ares tertampar, merasa benar-benar durhaka.

            “Aku benar-benar tidak tau akan itu paman, aku terlalu bodoh. Aku tak pernah mencari tau cerita sebenarnya, semua kesalahanku, aku tak pernah meminta maaf padanya.”

            Ares mulai menangis, berkata bahwa dia ingin ke pusara ayahnya.

            Mereka berjalan, Abeng menepuk bahu Ares. Hati Ares benar-benar sesak, dia ingin menggantikan posisi ayahnya, dia terlalu merasa bersalah.

            Ares duduk disamping pusara Indara, menangis hebat. Menyandarkan wajahnya pada nisan ayahnya.

            Ayah?Ayah tak usah menutupi segalanya kini. Ayah tak lagi harus meminta maaf padaku. Aku yang harusnya meminta maaf, bahkan bersujud padamu yah. Aku sempat merasa malu, jijik, bahkan merasa tak ingin menjadi bagian darimu. Aku tak pernah tau semua itu untukku. Aku disini, benar-benar menyesal tak sempat bicara padamu barang sedetik. Maafkan aku yah.

            Ares menghapus air matanya, tersenyum tipis.

            Aku sekarang bangga bahwa kau adalah ayahku, belasan tahun bersandiwara, siapa yang mampu? Tak ada yang mengalahkanmu yah. Dan sekarang kau gugur sebagai penyelamat bukan? Aku sangat bangga, tak peduli lagi bagaimana masa lalumu, kau, ayahku.

           

Tamat.

Penulis: ELRA NEVATERA K.

Generic placeholder image

DITULIS OLEH

Eureka Writer

Content Writer

Content Writter eurekabookhouse.co.id

New Entry